Sabtu, 26 Maret 2011

Berlian Terbuang VS Sampah Teranggap


“Jum’at, 3 Juni 2010
My diary, hari ini aku sedih sekali. Mungkin benar kata orang-orang bahwa jangan bermimpi terlalu tinggi. Impianku untuk menjadi seorang jurnalis andal telah musnah. Bagaimana tidak? Tes SMAN Pilihan yang sebegitu mudahnya saja tak bisa kulalui dengan keberhasilan. Aku tahu setiap kehidupan kita pasti mengalami kegagalan. Tapi, harus sepedih inikah? Aku tidak tahu harus melanjutkan kemana. Aku bingung, sangat bingung.
Namun yang paling menyakitkan bagiku adalah, mengapa teman-temanku yang nilai ujian sekolahnya jauh di bawahku bisa lolos dari tes itu. Aku merasa bodoh, sangat bodoh.”
Begitulah Calista menulis di buku hariannya. Ia masih belum menerima kenyataan pahit yang dialaminya ini. Calista menghela nafas. Ia memandang handycamnya dengan lesu. Biasanya ia menggunakan handycam itu untuk membuat film dokumenter singkat, itulah hobinya sesuai dengan cita-citanya yang ingin menjadi jurnalis andal. Namun sekarang ia patah semangat karena kegagalan ini.
Ia menyimpan handycam itu dalam lemari, juga flashdisk dan sejumlah vcd yang bertuliskan “Pesta Pernikahan Adat Lampung”, “Impian Dibalik Guguran Daun”, dan berbagai judul film documenter karyanya yang sengaja ia tulis di sampul vcd-vcd itu. Rasanya ia tidak mau lagi melihat benda-benda itu lagi.
Ia meraih ponselnya dan mengirim pesan pada seorang temannya yang juga mendaftar sebagai calon siswa baru di SMAN Pilihan.
“Hai, Fitria. Bagaimana tes SMAN-mu?
Kamu terpilih sebagai salah satu siswi di SMAN Pilihan?”
Tak lama kemudian, si penerima pesan membalas.
“tidak, aku gagal. Kudengar kamu juga gagal, ya?
Untung aku diterima di Madrasah Aliyah Negeri Harapan,jadi aku tak perlu mendaftar di SMA swasta yang pasti bayarannya mahal.”
Akhirnya kedua gadis itu asyik bersenam jari pada ponsel masing-masing. Dalam diri Calista timbul rasa heran. Mengapa Fitria, teman tercerdas di kelasnya ini tidak terpilih tetapi teman yang berada jauh dibawahnya yang terpilih? Ada apa dibalik semua ini? Pertanyaan itu masih tidak terjawab dalam benak Calista.
***
Esok harinya Calista masih memikirkan masalahnya. Ia mengambil selembar brosur SMA Islam. Ia membaca rincian biaya, persyaratan pendaftaran, dan semua tentang SMA tersebut. Ia mengela nafas. “Mengapa dunia menjadi tidak adil? Mengapa aku tidak lulus? Padahal nilai ujian nasionalku memuaskan, aku telah belajar sungguh-sungguh demi tes penerimaan siswa baru saat itu. Mengapa harus sepahit ini?” pikir Calista. “Mengapa mereka yang nilai ujian nasionalnya tidak sebagus aku yang terpilih?”
Calista melamun di kursi ruang keluarga, saat ummi menghampirinya. “Calista, kamu lupa ya, janji ummi kemarin? Kita kan mau pergi ke pantai sekeluarga.”kata ummi dengan lembut. Calista mengela nafas. “Kan ummi janjinya kalau Calista diterima di SMAN Pilihan, baru ummi tepati janji ummi.” Jawab Calista dengan lemas tanpa melirik sedikit pun wajah ummi. “Calista, ummi tahu kamu masih sedih karena kamu tidak lulus dalam tes kemarin. Secara pribadi ummi juga kecewa, tapi ummi yakin pasti Allah punya alasan mengapa Calista tidak diberi izin dari-Nya untuk bersekolah di SMAN Pilihan.” kata ummi. “Calista lulus atau tidak, tidak akan menjadi penghalang bagi kita untuk liburan bersama keluarga, kan?” lanjut ummi. “Mungkin Calista gak usah ikut, mi. Calista di rumah saja.” Kata Calista sambil berjalan menuju kamarnya.
Ia merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Terngiang kembali wajah Bu Tina, guru yang selalu memompa semangatnya dalam menjalani ujian saat ia SMP. Terbayang bagaimana keras dan gigihnya dukungan dari beliau pada dirinya dan teman-temannya saat menjelang ujian nasional, terbayang pula bagaimana tulusnya beliau mengajar. Berkat Bu Tina, Calista menyukai matematika. Berkat Bu Tina, Calista bersemangat belajar. Calista merasa telah mengecewakan gurunya itu.
Terngiang juga wajah teman-temannya yang sering membuat Bu Tina kesal, yang sering membuat Bu Tina kecewa, hingga terkadang Calista sendiri kesal dan menyebut mereka “manusia tak tahu diuntung”. Namun pada akhirnya mereka berhasil lulus dalam seleksi penerimaan siswa baru di SMAN Pilihan. Terbayang begitu jelas mereka tertawa di atas kekalahan Calista, mereka mengacungkan ibu jari yang dibalik di depan batang hidungnya. Air mata Calista mengalir dan membawanya kembali ke alam nyata. Lalu ia menangis tersedu.
Ia masih terisak saat kepalanya kembali memikirkan Bu Tina. Ia masih ingat kata-kata motivasi dari Bu Tina. “Jika berlian tergeletak di atas tumpukan sampah, pasti tanpa pikir panjang seseorang akan mengambil berlian tersebut. Dan jika sampah ditaruh di kotak berlian, tanpa pikir panjang semua orang tak akan menghargai sampah itu seberapapun mahal harganya atau seberapapun indah tempat ia diletakkan. Artinya seburuk apapun sekolah kalian nanti, jika kalian pintar tetaplah pintar. Jangan pedulikan apakah SMAN, SMA Swasta, atau SMA Internasional sekolah kalian nanti.” Kata beliau. “Takapa kita menjadi berlian yang terbuang, toh kita masih bias berguna bagi diri sendiri. Daripada kita menjadi sampah teranggap, yang akan menjadi bibit-bibit kuman yang akan menjadi parasit bagi bangsa kita. Dan jangan pernah putus asa atas apa yang kalian cita-citakan.” Lanjutnya.
Ia merasa bersalah. Tiba-tiba saja Calista terlonjak karena pikirannya sendiri. Ia baru menyadari bahwa jika ia hanya menangis dan berputus asa justru ia mengecewakan Bu Tina. Ia menghapus air matanya dan berkata dalam hati, “aku akan menjadi seperti yang Bu Tina inginkan. Aku akan menjadi berlian walaupun berada di tempat sampah. Seperti kata Bu Tina.” Ia menjadi semangat lagi.
Calista menghampiri ummi yang sedang mempersiapkan bekal untuk pergi ke pantai nanti. “Ummi, Calista mau ikut.” Kata Calista bersemangat lagi. Ummi masih bertanya-tanya mengapa putrid kesayangannya itu menjadi bersemangat lagi. Ummi memandang kepergian Calista dengan heran, namun juga bersyukur karena putrinya tidak murung lagi.
Ia langsung menuju kamar mandi dan mempersiapkan segalanya untuk ke pantai nanti. Tak lupa ia mengeluarkan handycamnya dari lemari dan memasukannya ke dalam tas bersama laptopnya.”Aku ‘masih’ seorang jurnalis,” pikirnya.
***
Akhirnya mereka semua sampai di pantai Mutun. Ia langsung beraksi dengan handycamnya. Sambil mengambil gambar ia memuji keindahan pantai tersebut. Tarif masuk yang murah dan pemandangan yang memuaskan. Dan terkadang seunit banana boat melintas di air laut yang jernih, terkadang jet ski atau pun sejumlah perahu kecil.
Setelah ia selesai mengambil gambar, ia mulai mengotak-atik rekamannya. Ia memotong gambar yang tidak perlu, menambahkan teks, dan lain-lain. Setelah ia selesai dengan film dokumenternya yang baru, ia berniat untuk menulis cerita tentang kejadian yang sempat terjadi padanya. Kejadian itu ia ketik rapi dan ia beri judul: “Berlian Terbuang vs Sampah Teranggap”. Tak lupa ia juga mengisahkan tentang Bu Tina.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites