Tugu Kartini

jalan RA. Kartini, Bandarlampung.

tugu ADIPURA, Bandarlampung

tugu ADIPURA dengan gajah lampung sebagai icon kota Bandarlampung.

SDN 1 Waykandis

sekolah pertamaku.

pulau Condong, Lampung Selatan

tempat wisata favoritku

Kebun kelapa

Kebun kelapa di pesisir selatan Lampung Barat.

Sabtu, 24 Maret 2012

Ukhty oh Ukhty



Bayangkan kalau kamu yang tiba-tiba dicuek bebek dengan sahabatmu sendiri. Itulah yang terjadi padaku. Dia tiba-tiba berusaha menghindar, tapi kalau usaha menghindarnya tidak berhasil dia akan menganggap aku tidak ada. Sangat garing.
“Hey! Assalamu’alaikum, ukh.”tegurku pura-pura tidak menganggap paranoidku padanya. Dia tetap diam sambil berlalu meninggalkanku bersama salah satu teman sekelasnya. Ya, aku dan dia sebenarnya tidak sekelas, tapi yang membuat kami dekat adalah kesamaan ekstrakurikuler yang kami ikuti.
Aku tetap mempertahankan “positive thinking” padanya. Mungkin karena teman sekelasnya itu, ia pernah cerita padaku kalau banyak teman sekelasnya yang agak alergi dengan anak Rohis, anak alim, dan sejenisnya. Anak remaja zaman sekarang, bisikku dalam hati untuk menenangkan perasaanku.
Mungkin ia takut dijauhi teman-teman sekelasnya jika ia bergaul dengan orang sepertiku. Banyak orang yang ‘ill feel’ terhadapku lantaran jilbabku yang berukuran lebih besar dan panjang dari pada umumnya yang orang-orang kenakan.
Sahabatku itu bernama Amel. Dia seorang gadis yang agak tomboy, baik, dan, ya… bebeapa hal darinya tidak bisa kumengerti. Termasuk sebab ia menjauhiku ini. Jika dipikir-pikir, aku sebaiknya tidak terlalu berharap ia kembali akrab denganku, mungkin saja ia bukan kriteria seorang sahabat yang kuinginkan. Tapi bisakah ia mengerti perasaanku? Aku sulit melepas ia dan aku ingin tahu sebabnya, apa salahku dan apa yang telah kulakukan padanya.
Sejak kecil dimana pertama kali aku mendapat teman dari luar rumah, hal yang paling kubenci adalah permusuhan. Bagiku satu musuh sudah terlalu banyak. Walaupun terkadang aku bisa saja membenci orang, aku selalu berusaha memaafkan keburukan orang tersebut yang membuat kubenci padanya, sehingga tidak ada perang dingin atau permusuhan diantara aku dan orang itu. Tapi akankah Amel memaafkan kesalahanku? Apakah Amel merasa lebih baik jika bermusuhan? Akankah Amel memakai caraku untuk menghindari kebencian dan permusuhan?
***
Dia benar-benar keterlaluan. Aku berusaha bicara padanya seusai solat duha saat istirahat di musolah sekolah, tapi, entah ia terlalu pengecut, ia malah pergi. Saat itu, aku merekrut teman-temanku, yang mengerti masalah antara aku dan Amel, untuk membantuku menaham Amel di musolah. Mereka tahu karena mereka satu kelompok liqo’1 denganku, begitu juga Amel.
Setelah aku selesai solat duha dan begitu pun ia, aku duduk di sampingnya. Ia mengeluh risih dan berusaha pergi, tapi teman-teman yang lain menahannya untuk tetap duduk. Namun ia memberontak, “sudah lah… aku tidak mau kalau harus dipaksa seperti ini!”omelnya, emosiku memuncak, “Mel, aku hanya mau bicara sebentar,” jelasku tenang, ia tidak mendengarkan dan beranjak pergi. “Kamu itu kenapa, sih?” tanyaku disertai linangan air mata. Di musolah tidaklah sepi, belum lagi musolah berdekatan dengan kantin dan adegan itu kontan menjadi tontonan seluruh penghuni musolah, tapi aku tidak peduli.
Demi melihat kepergian Amel, tak terasa aku menangis. Aku duduk di sudut musolah sambil memeluk lututku dan menyembunyikan wajahku yang basah di atas lututku. Teman-teman menghampiriku, Widia, salah satu dari mereka, mengelus pundakku, “sabar ya, Marsha,”katanya dengan lembut.
Kejadian itu kuceritakan pada mbak Asti, tutor liqo’ku, setelah kegiatan liqo’ usai, “mungkin Amel hanya butuh waktu untuk sendiri,”jawab mbak Asti. Hanya aku dan mbak Asti di sana karena teman-teman yang lain sudah pulang. “Inginku hanya satu, mbak, apa sebabnya, itu saja,”keluhku, “mungkin Allah sedang menguji persahabatan kalian. Masalah dalam kehidupan itu ibarat garam pada masakan, tanpanya kehidupan tidak terasa sama sekali,”katanya lagi, “bersabar dan terus berdo’a pada Allah, jangan lupa ibadahnya,”saran mbak Asti.
***
Suatu hari…
“Marsha, aku pikir kamu emang gak adasalah deh, sama Amel,” sahut Indri, salah satu partner-ku dalam pembuatan buletin rohis. “Aku sedang malas membahas itu, Ndri,” jawabku, “ya… sepertinya kamu perlu tahu, deh. Waktu itu dia cerita sama aku, dan dari situ aku tahu Amel itu orangnya gak suka terlalu dekat dengan orang, aku rasa,” jelas Indri. Aku menatapnya remeh, “masalahnya, aku pernah berbuat seperti yang Amel lakukan. Aku pikir dia itu seperti aku, itu sifat alamiku sejak lahir, kurasa. Memang aneh kedengarannya, tapi semua orang pasti punya sifat anehnya masing-masing, kan?” lanjutnya. Aku mengangkat bahu, “dan haruskah itu mengorbankan perasaan orang lain?” tanyaku ketus.
Aku menegur diriku sendiri, memangnya aku bisa dengan mudah menghilangkan sifat burukku? Pertanyaan itu membuatku malu dan tersadar. Aku menemukan jawaban dari semua ini! Amel menjauhiku bukan karena aku salah, tapi tetap saja dalam perkara ini aku bersalah. Aku bersalah karena aku tidak bisa memahaminya dan sifatnya yaitu, tidak suka terlalu dekat dengan orang lain, dan aku bersalah karena aku hanya berusaha memenuhi hajatku tanpa berpikir pada sudut pandang yang lain.
***
maafkan aku yang tidak bisa memahamimu, Mel. Aku tahu sebenarnya kamu ingin menjelaskan semua itu padaku, kan? Mengenai sifatmu itu? Tapi kamu takut aku tidak bisa mengerti dan malah berbalik membencimu. Aku tahu itu, dan baru menyadarinya. Dan kamu benar, aku hampir membencimu.
Sekarang aku berusaha untuk memahamimu. Oke, kita tidak akan terlalu dekat karena aku tahu satu hal, sahabat itu tidak harus selalu bersama tetapi harus memahami maksud bersama. Maafkan aku, Mel. Selama ini aku tidak bisa memahamimu.
Itu lah isi pesanku pada Amel. Aku harap benar dugaanku atas dirinya, ia hanya ingin tidak terlalu dekat denganku.
***
Bagai tidak terjadi apa-apa pada kami berdua, aku dan Amel sudah bisa bersosialisasi seperti biasa. Walaupun tidak dekat seperti dulu, bagiku itu tidak masalah. Toh aku sudah bisa menjadi sahabat yang bisa memahaminya.

Tarian Khayalku


“Menari lah bersamaku
Berputar seiring jalannya waktu
Berputar, berputar, dan berputar
Hingga kunang-kunang berputar di mataku

Tangkap aku
Ketika kujatuh karena kunang-kunang
Rangkul aku
Demikian dekat

Jangan kau lepas
Hingga denting waktu tengah malam menarikku
Menarikku kembali dalam nyata
         Saat kau hanya bisa kupandangi…”

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites