Bayangkan kalau
kamu yang tiba-tiba dicuek bebek dengan sahabatmu sendiri. Itulah yang terjadi
padaku. Dia tiba-tiba berusaha menghindar, tapi kalau usaha menghindarnya tidak
berhasil dia akan menganggap aku tidak ada. Sangat garing.
“Hey!
Assalamu’alaikum, ukh.”tegurku pura-pura tidak menganggap paranoidku padanya.
Dia tetap diam sambil berlalu meninggalkanku bersama salah satu teman
sekelasnya. Ya, aku dan dia sebenarnya tidak sekelas, tapi yang membuat kami
dekat adalah kesamaan ekstrakurikuler yang kami ikuti.
Aku tetap
mempertahankan “positive thinking” padanya. Mungkin
karena teman sekelasnya itu, ia pernah cerita padaku kalau banyak teman
sekelasnya yang agak alergi dengan anak Rohis, anak alim, dan sejenisnya. Anak
remaja zaman sekarang, bisikku dalam hati untuk menenangkan perasaanku.
Mungkin ia takut dijauhi teman-teman sekelasnya jika
ia bergaul dengan orang sepertiku. Banyak orang
yang ‘ill feel’ terhadapku lantaran jilbabku yang berukuran lebih besar dan
panjang dari pada umumnya yang orang-orang kenakan.
Sahabatku itu
bernama Amel. Dia seorang gadis yang agak tomboy, baik, dan, ya… bebeapa hal
darinya tidak bisa kumengerti. Termasuk sebab ia menjauhiku ini. Jika
dipikir-pikir, aku sebaiknya tidak terlalu berharap ia kembali akrab denganku,
mungkin saja ia bukan kriteria seorang sahabat yang kuinginkan. Tapi bisakah ia
mengerti perasaanku? Aku sulit melepas ia dan aku ingin tahu sebabnya, apa
salahku dan apa yang telah kulakukan padanya.
Sejak kecil
dimana pertama kali aku mendapat teman dari luar rumah, hal yang paling kubenci
adalah permusuhan. Bagiku satu musuh sudah terlalu banyak. Walaupun terkadang
aku bisa saja membenci orang, aku selalu berusaha memaafkan keburukan orang
tersebut yang membuat kubenci padanya, sehingga tidak ada perang dingin atau
permusuhan diantara aku dan orang itu. Tapi akankah Amel memaafkan kesalahanku?
Apakah Amel merasa lebih baik jika bermusuhan? Akankah Amel memakai caraku untuk
menghindari kebencian dan permusuhan?
***
Dia benar-benar
keterlaluan. Aku berusaha bicara padanya seusai solat duha saat istirahat di
musolah sekolah, tapi, entah ia terlalu pengecut, ia malah pergi. Saat itu, aku
merekrut teman-temanku, yang mengerti masalah antara aku dan Amel, untuk
membantuku menaham Amel di musolah. Mereka tahu karena mereka satu kelompok liqo’1
denganku, begitu juga Amel.
Setelah aku
selesai solat duha dan begitu pun ia, aku duduk di sampingnya. Ia mengeluh
risih dan berusaha pergi, tapi teman-teman yang lain menahannya untuk tetap
duduk. Namun ia memberontak, “sudah lah… aku tidak mau kalau harus dipaksa
seperti ini!”omelnya, emosiku memuncak, “Mel, aku hanya mau bicara sebentar,”
jelasku tenang, ia tidak mendengarkan dan beranjak pergi. “Kamu itu kenapa,
sih?” tanyaku disertai linangan air mata. Di musolah tidaklah sepi, belum lagi
musolah berdekatan dengan kantin dan adegan itu kontan menjadi tontonan seluruh
penghuni musolah, tapi aku tidak peduli.
Demi melihat
kepergian Amel, tak terasa aku menangis. Aku duduk di sudut musolah sambil
memeluk lututku dan menyembunyikan wajahku yang basah di atas lututku.
Teman-teman menghampiriku, Widia, salah satu dari mereka, mengelus pundakku,
“sabar ya, Marsha,”katanya dengan lembut.
Kejadian itu
kuceritakan pada mbak Asti, tutor liqo’ku, setelah kegiatan liqo’ usai, “mungkin
Amel hanya butuh waktu untuk sendiri,”jawab mbak Asti. Hanya aku dan mbak Asti
di sana karena teman-teman yang lain sudah pulang. “Inginku hanya satu, mbak,
apa sebabnya, itu saja,”keluhku, “mungkin Allah sedang menguji persahabatan
kalian. Masalah dalam kehidupan itu ibarat garam pada masakan, tanpanya
kehidupan tidak terasa sama sekali,”katanya lagi, “bersabar dan terus berdo’a
pada Allah, jangan lupa ibadahnya,”saran mbak Asti.
***
Suatu hari…
“Marsha, aku
pikir kamu emang gak adasalah deh, sama Amel,” sahut Indri, salah satu
partner-ku dalam pembuatan buletin rohis. “Aku sedang malas membahas itu,
Ndri,” jawabku, “ya… sepertinya kamu perlu tahu, deh. Waktu itu dia cerita sama
aku, dan dari situ aku tahu Amel itu orangnya gak suka terlalu dekat dengan
orang, aku rasa,” jelas Indri. Aku menatapnya remeh, “masalahnya, aku pernah
berbuat seperti yang Amel lakukan. Aku pikir dia itu seperti aku, itu sifat
alamiku sejak lahir, kurasa. Memang aneh kedengarannya, tapi semua orang pasti
punya sifat anehnya masing-masing, kan?” lanjutnya. Aku mengangkat bahu, “dan
haruskah itu mengorbankan perasaan orang lain?” tanyaku ketus.
Aku menegur
diriku sendiri, memangnya aku bisa dengan
mudah menghilangkan sifat burukku? Pertanyaan itu membuatku malu dan tersadar.
Aku menemukan jawaban dari semua ini! Amel menjauhiku bukan karena aku salah,
tapi tetap saja dalam perkara ini aku bersalah. Aku bersalah karena aku tidak
bisa memahaminya dan sifatnya yaitu, tidak suka terlalu dekat dengan orang
lain, dan aku bersalah karena aku hanya berusaha memenuhi hajatku tanpa
berpikir pada sudut pandang yang lain.
***
“maafkan aku yang tidak bisa memahamimu, Mel.
Aku tahu sebenarnya kamu ingin menjelaskan semua itu padaku, kan? Mengenai
sifatmu itu? Tapi kamu takut aku tidak bisa mengerti dan malah berbalik
membencimu. Aku tahu itu, dan baru menyadarinya. Dan kamu benar, aku hampir
membencimu.
Sekarang aku berusaha untuk memahamimu. Oke, kita
tidak akan terlalu dekat karena aku tahu satu hal, sahabat itu tidak harus
selalu bersama tetapi harus memahami maksud bersama. Maafkan aku, Mel. Selama
ini aku tidak bisa memahamimu.”
Itu lah isi
pesanku pada Amel. Aku harap benar dugaanku atas dirinya, ia hanya ingin tidak
terlalu dekat denganku.
***
Bagai tidak
terjadi apa-apa pada kami berdua, aku dan Amel sudah bisa bersosialisasi
seperti biasa. Walaupun tidak dekat seperti dulu, bagiku itu tidak masalah. Toh
aku sudah bisa menjadi sahabat yang bisa memahaminya.