Tugu Kartini

jalan RA. Kartini, Bandarlampung.

tugu ADIPURA, Bandarlampung

tugu ADIPURA dengan gajah lampung sebagai icon kota Bandarlampung.

SDN 1 Waykandis

sekolah pertamaku.

pulau Condong, Lampung Selatan

tempat wisata favoritku

Kebun kelapa

Kebun kelapa di pesisir selatan Lampung Barat.

Kamis, 12 Januari 2012

Recycle Pakaian


Mungkin bagi sobat jilbabers yang udah pake jilbab dari kecil agak bingung masalah penanganan bijak bagi busana muslim yang kita pakai pas masih kecil. Ukurannya sih masih muat sama kita, tapi kalau dipakai, gimana gitu… kayak anak kecil! Ya enggak? Mau disumbangin tapi sayang. Gimana dong? Recycle aja!
Supaya kamu bisa tetap pakai busana muslim anak kecil itu tanpa membuang kesan ABG dan syar’i dari pakaian yang kamu pakai, mix aja pakaian-pakaian itu dengan pakaian lain yang senada.
Yang membuat pakaian itu terkesan untuk anak kecil adalah coraknya yang rame, warnanya yang sama antara atasan dan bawahan, dan warnanya yang cerah. Untuk itu, ada baiknya kamu padukan pakaian yang bercorak dengan pakaian yang polos, dengan catatan warnanya harus senada.
Misal, seperti gambar di bawah ini.
 Rok seperti itu bisa kamu padukan dengan kaos lengan panjang dengan warna yang senada seperti cream, cokelat muda, de el el, dipadu dengan jilbab warna cokelat. Bisa juga kaos warna putih, tapi biar kesannya gak sepi warna, kamu bisa mix dengan jilbab warna cokelat dan jaket wol warna cokelat.
Sedangkan untuk baju itu, bisa kamu padukan dengan rok dasar warna cokelat dan jilbab warna cokelat.
Btw, dari tadi White Riding Hood ngomongin warna cokelat melulu, ya. Kenapa harus cokelat sih? Kenapa gak pake warna yang sama antara atasan dan bawahan? Kan bisa kemeja garis-garis dengan warna sama dipaduin dengan rok seperti di atas, atau kenapa bajunya itu gak pake rok yang warnanya sama aja?
Oke, sobat jilbabers. White Riding Hood bakal jawab. Warna yang sama persis jika dipadukan akan memberi kesan kaku pada pakaian yang kita pakai. Kesannya gak full color gitu.  Apalagi dengan corak yang senada, itu akan memberi kesan kekanak-kanakan.
Kalo White Riding Hood saranin sih, kalo kita mau pake baju yang bercorak hendaknya dipadukan dengan baju yang polos begitu juga sebaliknya, dengan syarat warna yang dipadukan harus senada. Misalnya hijau muda dengan putih, ungu dengan hitam, merah dengan hitam, pink dengan putih, dll.
Demikian dan terima kasih, kembaliannya ambil aja (hah? maksud?). Semoga bermanfaat. J

Pahlawan Malam


 “Kenapa bisa lupa, sih?” omelku, “sorry, Sar. Gue bener-bener lupa. Gue juga capek bener kemaren gara-gara pertandingan Taekwondo,” ucap Tomi penuh sesal, “tapi nanti gimana kalau kita dihukum?”tanyaku kesal, bujang itu diam. Alasan pertandingan yang harus ia ikuti itu tak kuanggap sebagai alasan logis, walau mengingat ia memang berhasil menyabet medali emas.
Selalu begitu. Tomi adalah orang paling menyebalkan. Semua yang ia lakukan pasti aku yang kena getahnya. Dua hari yang lalu ia berhasil membuatku kesal karena ia menabrakku hingga flash disk milikku, yang ada di tanganku, melayang dan mendarat dengan kerasnya di lantai. Alhasil, semua data di dalamnya ikut raib.
Hari ini ia membuatku kesal karena ia lupa membawa makalah Biologi untuk tugas kelompokku, padahal hari ini kami harus mengumpulnya. Sungguh sial juga mengapa aku harus satu kelompok, berdua dengannya.
“Ya sudah, tapi kalian harus mengumpulkannya besok, dengan syarat nilai kalian dikurangi dua poin,”kata bu Nurul, guru Biologi kami yang terkenal sangat disiplin tapi tidak suka kekerasan. Dikurangi dua poin? Itu artinya kami harus mendapat poin sekurang-kurangnya 72, dan untuk medapatkannya aku harus menambahkan lagi materi-maeri yang ada di dalamnya! Ya ampun, padahal butuh waktu tiga hari begadang aku mengrjakannya. Aku tidak mau membagi pekerjaan ini pada Tomi, pasti iamembuat ulah kembali nantinya.
Sore hari setelah pulang sekolah, aku mulai mengerjakan makalahnya. Tidak terasa hingga malam menjalar dan akhirnya lengkap sudah makalah itu. Aku mulai mencetaknya dan, jeng! Kertas putih yang kumasukkan dalam printer hanya berhiaskan tulisan semu, tidak jelas. Sial! Rupanya tintanya habis. Waktu menunjukan pukul sebelas malam, toko alat tulis pasti sudah tutup.
Aku dongkol bukan main. Akhirnya aku pergi tidur tanpa memikirkan apa yang akan terjadi besok tanpa makalah itu.
***
“Tomi dan Sari, kemari!” panggil bu Nurul. Aku menghampiri meja guru dengan jantung berdegup kencang. Tuhan, tolong aku! “dimana Tomi?” tanyanya saat melihat hanya aku yang datang menghampirinya, “saya tidak tahu, bu. Mungkin ia terlambat atau mungkin tidak datang,” jelasku. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi, kuputuskan untuk menjelaskannya, “bu, maafkan saya. Tadi malam saya sudah berusaha, tapi ternyata tinta printer saya habis dan tidak sempat lagi hendak membelinya,”jelasku dengan suara bergetar. Bu Nurul membaca ketakutanku, “hari ini adalah waktu akhirnya, ibu bukan bermaksud untuk menyusahkanmu tapi kamu tahu, senin yang akan datang itu sudah ujian semester dan nilai semua mata pelajaran harus terkumpul tiga hari sebelum waktu ujian, tepatnya hari ini,”jelas bu Nurul.
Tiba-tiba, “permisi, bu,” Tomi tiba-tiba datang, “maaf saya terlambat,” dia menghampiri aku dan bu Nurul, kemudian ia menyerahkan sejilid kertas, “dan ini makalahnya,”ujarnya santai. Aku takjub.
Bu Nurul tersenyum bangga dan mulai menelaah isi makalah tadi. “Thanks” bisikku, “gue ngerjain itu sampe bangun kesiangan, Sar!” bisik Tomi.
***
“Maaf ya Sari, malam ini papa lembur. Kerjaan gak bisa ditinggal, papa gak bisa jemput kamu di tempat bimbel,” tubuhku melemas mendengar suara papa di ponselku. Jam menunjukan pukul delapan malam. “Kamu menginap dulu aja di rumah tante Rani, kan gak jauh dari situ,” kata papa, walaupun dengan nada tidak yakin. “Tapi pa, papa tahu kan kelakuan sepupu-sepupuku yang nakal itu? Buku-bukuku bisa gak selamat dicoret-coret mereka, dan apa papa yakin rumah tante Rani muat kalo aku menginap di sana?” sanggahku, “oke, papa akan jemput kamu malam ini tapi gak sekarang, sambil nunggu papa kamu ke rumah tante Rani dulu,” kututup ponselku tanpa menyetujui saran papaku, tapi aku beranjak menuju rumah tanteku. Aku mulai membayangkan nasib buku-buku pelajaranku yang menumpuk di ranselku ini karena aku langsung pergi untuk bimbel tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu.
Aku mulai mengandai-andai, jika saja aku belum kelas tiga SMA, pasti aku tidak perlu les sampai malam, kalau saja mama tidak bercerai dengan papa mungkin mama bisa menjemputku sekarang, seandainya rmah mama ada di dekat sini pasti aku tidak perlu pergi ke rumah tante.
Jalanan mulai lengang, dan di daerah ini memang didominasi gedung-gedung umum dan perkantoran, kulongok arlojiku, jam delapan malam, pantas saja. Tidak ada seorang pun di jalanan, hanya empat orang pemuda yang sedang berkumpul di pinggir jalan sambil mengisap rokok. Entah mengapa perasaanku tidak enak.
“Cewek,” sapa salah satu dari mereka saat aku melintasi mereka. Aku hanya pasang senyum dingin sambil berjalan. “Mau kemana? Gabung sama kita, yuk!” ajaknya, “enggak, terima kasih, saya masih punya banyak PR,” tolakku sekenanya, mereka mulai tampak memaksa dan perasaanku makin tidak enak. Mereka mulai memegangiku, aku mulai risih, “tidak,” jawabku tegas.
Aku benar-benar berharap ada seseorang yang menolong, Tuhan! Lirihku dalam hati. Namun beberapa orang yang masih melintasi jalanan tidak ada yang menepi untuk menolongku. Aku ingin meraih ponselku untuk mencari bantuan namun mereka memegangi kedua tanganku, “jangan! Tolong!” aku mulai berteriak, sia-sia saja karena tidak ada pemukiman warga dan jarang ada kendaraan melintas di sini.
Aku mendengar langkah kaki yang mendekat di sertai sosok hitam yang mendekat, jangan-jangan pemimpin mereka, batinku. “Apa kalian itu pria sejati kalau kalian memaksa seorang gadis tidak berdaya?” ujar sosok hitam itu. Ia mengenakan jaket kulit hitam, celana dasar hitam, dan helm berwarna hitam, tingginya sekitar 170 cm dan dari suaranya yang terdengar tadi sepertinya ia seorang pria yang masih muda. Tapi mengapa aku merasa mengenali suara itu?
“Eh, apa urusan lo?” ujar salah satu pemuda yang menahanku tadi, “gue ngerasa kalian gak pantes memperlakukan dia seperti itu,” ujar si hitam itu mantap, “alah! Sok dewasa omongan lo!” ejek salah satu pemuda, “daripada kalian sok anak kecil,” balas si hitam santai, “weh… tengil ini orang, ayo cuy! Kita kasih dia pelajaran berharga,” ajak pemuda itu pada yang lain. “Sari, menyingkir dari situ,” seru si Hitam yang tentu saja membuatku terkejut karena ia tahu namaku, mengapa ia bisa tahu?
Perkelahian terjadi! Salah seorang pemuda mencoba meninjunya namun berhasil ditepis olehnya. Menyusul satu tendangan namun berhasil ditahannya kemudian orang itu didorongnya hingga tersungkur ke tanah. Melihat perkelahian itu sepertinya sekelompok pemuda itu tidak memiliki keahlian berkelahi, hanya asal pukul, tendang, dan meninju. Lain dengan si Hitam yang sepertinya sangat terampil dalam menangkis, mengelak, bahkan memberi serangan. Aku merasa kenal dengan cara berkelahi itu.
Hanya sesekali si hitam berhasil ditinju oleh salah seorang pemuda. Si Hitam akhirnya mampu membuat sekelompok pemuda itu jatuh dan merintih kesakitan. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Ia menarik tanganku dan berlari bersamaku.
Aku tidak mampu bertanya hendak kemana, tapi ia membawaku masuk ke gerbang sebuah kantor tepat di depan tempat aku ditahan tadi. Di pelataran parkir kantor itu hanya ada sebuah sepeda motor Honda Mega Pro. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci. Kami berlari menuju sepeda motor itu. Ia menyalakan motor itu, “naik,” suruhnya, seketika kami melesat meninggalkan perkantoran itu. sekelompok pemuda itu mulai bangkit untuk berusaha mengentikan motor yang kunaiki bersama si Hitam, namun si Hitam memepercepat laju motor hingga mereka tak sempat melakukannya.
Aku sudah terbebas dari pemuda-pemuda kurang ajar itu, tapi bagaimana dengan si Hitam? Apakah ia akan melakukan hal yang lebih buruk padaku ketimbang mereka? Aku was-was. “Jangan takut, gue bakal nganterin lo pulang,” katanya seolah bisa membaca pikiranku, dan seolah bisa membaca pikiranku ia tidak bertanya ke arah mana rumahku, ia juga mengendarai sepeda motor ke jalan menuju rumahku. Sedetik kemudian aku baru ingat kalau kunci rumah tidak ada padaku, dan papa tiba di rumah baru larut malam nanti. “Maaf, di rumah gue enggak ada orang, bisa enggak anterin gue ke rumah tante gue?” kataku, “boleh, di daerah mana?” tanyanya, aku menyebutkan alamat rumah tanteku itu.
***
Aku benar-benar tidak tahu siapa si Hitam ini, tapi entah mengapa ia mengantarkanku sampai tujuan dengan selamat! Hal itu membuat aku yakin kalau dia orang yang baik, siapa pun pria kostum serba hitam ini. “Thanks ya, lo ‘pahlawan malam’ gue,” kataku saat aku telah turun dari sepeda motornya, “enggak masalah,” dari hembus napasnya aku tahu ia sedang tersenyum.
“Seingat gue, tadi lo kena tinju sama cowok-cowok tengil itu, gue yakin itu pasti jadi luka di wajah lo. Masuk yuk! Gue yakin tante gue punya alat-alat P3K,” tawarku, “gak seburuk kelihatannya, kok. Gue harus cepet pulang,” tolaknya sambil menyalakan mesin Honda Mega Pro-nya. “Tunggu!” cegahku sambil meraih lengan kuatnya, “gue cuma mau tahu, siapa lo sebenarnya? Kenapa lo tahu jalan arah ke rumah gue? Dan kenapa lo tahu nama gue?” tanyaku. Kaca helmnya yang gelap menutupi kedua matanya, namun aku tahu kalau ia sedang menatapku tajam. Lima detik ia menatapku, lalu ia menggeleng kemudian berlalu meninggalkanku. Aku mengingat-ingat nomor plat motor itu, siapa tahu kami bisa bertemu lagi, batinku.
Aku berjalan menuju pintu rumah, kuketuk pintu dan seorang wanita cantik berusia tiga puluhan menyambutku. Aku tidak percaya aku masih bisa selamat, padahal setengah jam yang lalu aku sangat ketakutan. Kupeluk wanita yang adalah tante Rani sambil terisak, “Sari? Ada apa?” tanyanya, aku hanya bisa menjawab dengan tangisku.
***

Lagi. Tomi membuat ulah. Dia menghilangkan flash disk milikku yang kupinjamkan padanya. Aku kesal bukan main. “Nanti gue ganti deh,” katanya memohon maaf, “bukan masalah flash disk-nya lo, Tomi, tapi data yang ada di dalamnya,” ujarku dengan rasa dongkol. Aku melihat raut wajah Tomi yang benar-benar menyesal, tapi karena rasa kesalku, kuabaikan rasa sesalnya.
Hari ini jadwalku untuk mengikuti bimbel. Detik demi detik hari itu hanya membuatku kesal. Trauma pulang malam hari, khawatir kejadian kemarin malam terulang lagi, flash disk hilang, dan rasa kesal pada Tomi bercampur di kepalaku.
 Akhirny jam belajar telah usai. Aku keluar gedung namun papa belum datang menjemput. Aku menelpon papaku, “papa bisa jemput kan?” tanyaku, “iya, papa lagi di jalan. Tunggu, ya. Papa janji kejadian kemarin gak akan terulang lagi,” jawab papa, kalau tidak akan terulang, bagaimana jika terjadi hal yang lebih buruk?
Jalanan mulai sepi, tapi yang kutunggu belum juga datang. “Itu ceweknya bos,” ujar seseorang. Aku menoleh ke asal suara itu, sekelompok pria datang mendekatiku. Mereka mengepungku. “Gue denger dari anak buah gue, lo coba macam-macam sama mereka, iya?” tanya pria bertubuh paling besar. Aku hanya diam ketakutan. “Bukan dia, bos. Tapi orang lain, cowok pake baju serba hitam, motornya Mega Pro,” ujar seorang anak buahnya, “dia gak ngapa-ngapain. Cuma nonton aja,” tambahnya, “tolong sih, bang. Saya cuma mau pulang,” kataku memohon, “iya iya, lo gak bakal kami apa-apain tapi lo harus kasih tahu siapa cowok yang habis nolongin lo kemarin,” katanya, “saya gak tahu, bang. Tiba-tiba dia datang dan nolongin saya, waktu dia mengantar saya pulang saya tanya dia itu siapa,tapi dia gak jawab,”jawabku, “bener?” tanya si pria besar, aku mengangguk sambil ketakutan.
Tiba-tiba saja Honda Mega Pro itu datang bersama pengendaranya yaitu si Pahawan Malamku. “Nah! Ini dia orangnya!” ujar seorang anak buahnya, “ngapain lagi kalian gangguin dia?” tanya si Pahlawan Malam, “jadi lo yang udah kurang ajar sama anak buah gue?” kata si Bos, “gue kurang ajar? Anak buah lo itu yang kurang ajar gangguin cewek, masih SMA lagi,” jawabnya dengan nada tidak mau kalah. “O… Nantangin ini anak. Ayo maju!” seru si Bos, “Bos aja deh! Kami udah kapok kena tonjokan dari dia,” jawab salah satu anak buahnya, “banci!!” hardik si Bos. Dia mulai berkelahi dengan si Pahlawan Malam.
Aku mundur untuk menjauhkan diri dari perhatian mereka. Diam-diam aku menekan 112 di ponselku. “Tolong panggilkan polisi. Saya di jalan Raya Kota nomor 17,” kataku di ponsel dengan suara bergetar. Selagi aku menelpon, mereka masih sibuk berkelahi, sementara para anak buah sibuk menonton tanpa memperhatikanku yang baru saja menelpon polisi.
Polisi belum juga datang, aku makin was-was walau sejauh ini belum ada tanda menyerah dari penolongku. Tanpa diduga, si Bos mengeluarkan sebilah belati dan menusukkan tanpa ampun ke perut si Pahlawan Malam, “JANGAN..!!!” teriakku, namun hal itu tidak mengentikan aksinya. Ia menusuknya lagi. Ketakutanku mencapai puncaknya, secara refleks aku mencoba menahan tangan si Bos. Aku mengabaikan kemungkinan bahwa si Bos bisa saja membunuhku juga. Aku didorongnya secara kasar, aku jatuh.
Baru pada saat itu aku mendengar sirine polisi. “Bos, ada polisi, Bos,” ujar anak buahnya, mereka ketakutan,“ayo cabut!” mereka pun lari. Aku mendekati tubuh tidak berdaya itu, aku berlutut disampingnya, “Sari…” bisiknya pelan dengan merintih, aku menggenggam tangannya erat sekali sambil menghujani tubuhnya dengan air mataku.
Lima mobil polisi mengejar kawanan penjahat itu dan satu mobil polisi mendekati kami. “Selamat malam, dik,” kata seorang polisi sambil memberi hormat padaku, aku hanya diam sambil menatapnya, “maaf kami datang terlambat” kata polisi itu padaku, aku masih tetap diam. Tiba-tiba mobil papa datang, “Sari!” panggil papa, “papa! Tolong, pa. Kita bawa dia ke rumah sakit sekarang,” kataku. Tanpa ada pertanyaan papa dan dua orang polisi membantu meletakkan si Pahlawan Malam ke dalam mobil papa. Aku menemaninya di kursi belakang. Aku menatap helm hitamnya, dia masih sadar namun sangat lemah, kubuka helm itu, dan isak tangisku meledak. Ternyata Pahlawan Malamku adalah… Tomi!
Matanya yang sayu menatapku yang sedang menangis, dia hanya tersenyum. Aku memeluknya erat sekali, dan kurasakan ia juga membalas pelukanku. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang lemah dan napasnya yang demikian berat karena lukanya, luka tusukan di perutnya, juga luka di perasaannya karena perlakuanku padanya selama ini. Maafkan aku,Tomi…
***

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites