Hhh… masa lalu… tidak seharusnya aku mengingatnya. Namun
kejadian di masa kini memaksaku mengingatnya.
Saat itu aku masih duduk di kelas kelas 5 SD. Ada anak
pindahan di kelasku, namanya Riman. Mungkin kalian akan menganggap ini
berlebihan mengingat aku baru menginjak usia 10 tahun tapi baru pertama bertemu
entah mengapa aku merasakan butir-butir debar aneh pada diriku. Aku seperti
sangat bahagia memandanginya. Ya… sepertinya aku menyukainya.
Lambat laun, aku makin jatuh karena, ya… bisa disebut
sebagai pesona darinya. Dia termasuk siswa yang cerdas, humoris, namun
terkadang menyebalkan. Sangat normal dan biasa saja untuk ukuran anak laki-laki
di usia awal belasan tahun. Tampan? Entah lah. Apakah anak laki-laki dengan
wajah khas Sumatera Selatan, hidung mancung, potongan rambut seperti mangkuk
tengkurap kecoklatan bisa dibilang tampan? Aku rasa kalian akan menyebut ia
biasa saja. Sayangnya, aku tidak memiliki fotonya semasa SD dulu.
Riman adalah anak dari keluarga yang memiliki kelas ekonomi
bawahan. Berdasarkan info yang kudapat dari guruku, sepulang sekolah ia bekerja
sebagai pemulung. Apa yang kulihat dari anak seperti itu? Aku rasa, aku bisa
membenarkan perkataan temanku bahwa aku memiliki selera yang buruk soal
laki-laki. Tetapi selalu ada sesuatu yang lain di mataku, yang tidak bisa
mereka lihat, mengenai laki-laki yang tersemat di ruang hatiku.
Entah hanya perasaanku saja atau apa, tetapi aku merasa
Riman tampak suka sekali mencari-cari perhatianku. Jika aku duduk sendirian di
kelas, ia menghampiriku dan mulai bertingkah konyol. Ada saja tingkahnya yang
membuatku tertawa.
Aku menceritakan pada seorangsahabatku tentang perasaanku
ini. Memang manusia tak pernah luput dari khilaf, berita bahwa aku menyukai
Riman pun menyebar luas. Dari bocoran cerita itu, teman-temanku merayuku untuk
tidak menyukai Riman dan mengalihkan perasaanku pada Arif, seorang temanku yang
ternyata menyukaiku. ”Ngapain kamu suka sama Riman. Dia kan orangnya ngeselin.
Jadian aja dengan Arif tuh, dia suka sama kamu,” begitu kata mereka. Dan
jadilah aku mengikuti jalan jahiliyah. Aku berpacaran dengan Arif hingga kelas
6 akhir.
Saat kelas 6, Arif memberiku hadiah di hari ulang tahunku. Teman-teman
ramai menyorakiku. Sahabatku melihat Riman memandangku dengan pandangan penuh
sinis. Beruntung bukan aku yang melihatnya. Saat kelas 6 menjelang ujian akhir,
Riman memberiku surat yang ia titipkan pada sahabatku. Sampai detik ini, surat
itu belum sempat berada di tanganku. Kata sahabatku itu, surat itu mengatakan
bahwa Riman menyukaiku.
Dan masa-masaku di bangku putih biru penuh dengan rasa
bersalah. Aku hampir tak pernah sempat bertemu Arif lagi, dan Riman pun aku
tidak tahu kemana rimbanya. Masa SMP-ku juga penuh dengan rasa tertarik dengan
lawan jenis, tapi jauh di dalam hatiku, Riman masih ada dalam harapanku.
Aku belajar dari kesalahan. Sejak saat itu aku benar-benar
menganggap bahwa pacaran adalah hal yang sia-sia. Walaupun aku mudah sekali
jatuh cinta, tapi keinginan untuk menjalin hubungan spesial kukubur
dalam-dalam. Ketika aku mendapat fatwa bahwa pacaran itu dilarang agama, aku
sudah benar-benar siap menjauhi perkara itu.
Oh iya, aku memiliki facebook pertama kali saat tahun
2009. Sejak memiliki facebook, aku terus-terusan mencari teman-teman SD
dulu di sana. Ada yang ketemu, ada pula yang tidak. Riman termasuk dalam
kelompok teman-temanku yang tidak kutemui facebooknya. Kemudian pada tahun 2010
lalu, aku membuat grup khusus untuk semua teman-teman SD yang seangkatan
denganku.
Saat SMA, aku sudah putus harapan. Hanya jika kebetulan saja
aku mengingat-ingat soal Riman. Aku pikir, kalaupun kami dipertemukan kembali,
aku bingung harus bilang apa. Apa minta maaf saja cukup? Dia sudah mengalami
sakit hati luar biasa karena ulahku. Bagaimana kalau dia memintaku untuk jadian
dengannya? Bukankah aku sudah berkomitmen untuk tidak berpacaran? Akhirnya aku
sadar, perpisahan dengan Riman adalah hal terbaik yang harus terjadi. Aku
berdo’a pada Tuhan, semoga ia mau memaafkanku.
Kelas 12 SMA, aku menemukan facebook teman SD-ku dulu yang
juga sahabatnya Riman, aku terbiasa memanggilnya Udin. Kami saling mengobrol,
dan di ujung obrolan, aku bertanya soal Riman. Sayangnya Udin gak tau secara
detail, yang dia tau hanya Riman merantau ke Palembang kerja di sebuah perusahaan
gas.
Lulus SMA, aku hampir benar-benar lupa soal Riman. Sampai
kira-kira sebulan yang lalu, facebook-ku di-add orang dengan nama
akun “RiymAn N**** L************”. Biasanya aku selalu menolak add dari
orang yang tidak kukenal. Tetapi aku mengonfirmasi akun ini. Walau aku tidak
yakin, tetapi aku seperti mengenal pemilik akun ini. Jangan-jangan…
Akun itu juga mengirimkan tulisan ke grup teman-teman SD-ku.
Aku mengomentari tulisan tersebut. (Aku yang memiliki nama
depan dengan huruf “M”)
Entah aku harus senang atau biasa saja. Masa lalu itu, yang
sudah susah payah aku buang, kini kembali datang ke dimensi tempatku berpijak.
Mungkin kalian akan berpikir bahwa kisahku akan berakhir
Riman dan aku kembali bersatu. Aku menanggalkan komitmenku. Aku membayar apa
yang sudah kurusak dalam diri Riman.
Aku tidak bisa melakukan itu. Komitmen yang kupegang
benar-benar tidak bisa diganggu oleh apapun. Toh perasaanku pada Riman sudah
hilang entah kemana dan tiada tersisa. Ada banyak hal yang harus kuraih selain
hal ini.
Dan ada sebab lain yang membuatku enggan lagi
mengekspresikan rasaku padanya.
Semua itu karena dia…
Dia sudah… J
Tuhan punya rencana lain yang lebih indah. Tadinya aku
berharap Riman mau memaafkanku. Tetapi
baik ia mau memaafkanku maupun tidak, sudah ada bidadari cantik di
sampingnya, yang bisa menyembuhkan luka dalam yang pernah kubuat.
“Maafkan aku, man… “